Senin, 15 Desember 2008

Serikat Pekerja

PENTINGNYA SERIKAT PEKERJA DALAM PENANGANAN
MASALAH KETENAGAKERJAAN


Oleh : Nur Efendi, S. Sos, M.Si

Kata kunci : Serikat pekerja, collective bargaining, komitmen pekerja

Pendahuluan

“Kalau dibilang cukup, ya cukup, kalau dibilang nggak gimana ya, nyatanya sampai sekarang saya bersama istri dan anak saya masih bisa bertahan hidup di Tangerang ,” demikian yang dikatakan Antoro, buruh di sebuah pabrik tekstil di Tangerang yang menerima gaji Rp 600.000,00 sebulan tanpa tambahan uang lembur karena lembur ditiadakan. (Kompas, Selasa 11 Desember 2001 halaman 15)

Demikianlah sepenggal ungkapan keprihatinan yang disampaikan salah satu buruh berkaitan dengan kehidupan dan masa depannya yang masih gelap. Kepahitan hidup ini tidak hanya di alami oleh satu Antoro tetapi oleh ribuan dan bahkan mungkin jutaan Antoro dengan penghasilan yang tidak kalah rendahnya. Sangat sulit dibayangkan bagaimana Antoro bisa bertahan dan meningkatkan kualitas hidupnya ditengah persaingan tenaga kerja yang semakin kompleks. Untuk meminta kenaikan gaji kepada perusahaan sangat tidak mungkin karena seperti kebanyakan buruh, keberadaan Antoro tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Secara logika, tuntutan kenaikan gaji dan upahya tidak mungkin dilakukan buruh secara perorangan. Oleh sebab itu, Antoro harus saling bergandengan tangan dan bekerja sama dengan Antaro lainnya agar ada perimbangan kekuatan antara buruh dan perusahaan. Dengan begitu terbuka peluang bagi buruh untuk menuntut perbaikan upah, tunjangan, dan kondisi kerja kepada perusahaan.

Inilah ide awal munculnya serikat pekerja yang membawa banyak implikasi dalam hubungan antara buruh dan perusahaan. Adanya kesadaran di antara para pekerja tentang pentingnya sebuah kekuatan yang terorganisir yang secara nyata mempunyai The power of bargaining, telah mendorong terbentuknya organisasi serikat pekerja yang bertujuan untuk memperjuangkan nasib pekerja dari tindakan sewenang-wenang pengusaha dan manajemen perusahaan. Demikian pentingnya peran serikat pekerja sehingga dalam beberapa kasus, perwakilan serikat pekerja diberi kedudukan dalam struktur perusahaan sehingga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nasib pekerja.

Namun demikian, keberadaan serikat pekerja tidak secara otomatis mampu memperbaiki nasib pekerja yang menjadi anggotanya. Berbagai perubahan dalam lingkungan eksternal lebih merupakan kendala daripada peluang yang sangat mempengaruhi keefektifan pencapaian tujuan organisasi serikat pekerja secara keseluruhan. Masih rendahnya upah buruh dan terjadinya aksi-aksi mogok menjadi indikator kegagalan serikat pekerja dalam menegosiasikan kepentingan golongan yang diwakilinya. Dalam makalah, pembahasan tentang serikat pekerja akan dilakukan dari aspek teori. Dengan demikian kita akan dapat melihat permasalahan yang melingkupi serikat pekerja secara utuh dan komprehensif namun dalam kerangka yang bersifat teoritis

Pentingnya Serikat Pekerja
Pembahasan tentang peran yang dijalankan tidak terlepas dari definisi yang diberikan tentang serikat pekerja. De Cenzo dan Robbins ( 1999, 482) memberikan definisi serikat pekerja sebagai “ an organization of workers, acting collectively, seeking to promote and protect its mutual interest through collective bargaining. Dalam hal ini secara tegas De Cenzo dan Robbins mengatakan bahwa pencapaian tujuan organisasi serikat pekerja dilakukan melalui collective bargaining dalam upaya meningkatkan dan melindungi kepentingan pekerja. Dalam proses bargaining, serikat pekerja bertingak mewakili anggotanya dan bukan sebagai pribadi atau pihak ketiga yang hanya bertugas melakukan sosialisasi berbagai kebijakan perusahaan. Inilah makna sesungguhnya dari serikat pekerja sebagai sebuah interest group dan preassure group. Dalam beberapa kasus, serikat pekerja yang dibentuk pada sebuah perusahaan bertingak sebagai corong perusahaan untuk menyampaikan berbagai kebijakan kepada kaum buruh tanpa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Pada dasarnya, keberadaan serikat pekerja di perusahaan memberi manfaat bagi pihak pekerja dan juga manajemen. Bagi pekerja, keberadaan serikat pekerja dapat dijadikan sebagai sebuah kekuatan untuk menyampaikan berbagai aspirasi dan keluhan yang berkaitan dengan kondisi kerja.. Selain itu juga akan lebih mendekatkan jarak antara manajemen dan pekerja karena adanya perwakilan serikat pekerja dalam manajemen. Werther dan Davis (1996, 527) mengatakan bahwa dengan semakin berkembangnya organisasi, pekerja kehilangan kontak secara langsung dengan majikan dan dengan demikian serikat pekerja diperlukan untuk membantu pekerja mempengaruhi keputusan-keputusan ketenagakerjaan. Melalui serikat pekerja, pekerja akan lebih mampu melakukan kontrol terhadap pekerjaannya dan lingkungan kerjanya. Kemudian, pada saat majikan mencoba untuk memotong upah, pekerja mempercayakan kepada serikat pekerja untuk menentang tindakan tersebut.”

Sedangkan bagi manajemen, keberadaan serikat pekerja akan lebih memudahkan dalam konsolidasi dan komunikasi dengan pekerja. Semakin besar ukuran sebuah organisasi, semakin jauh jarak antara pekerja dan majikan. Kompleksitas dan formalitas struktur menciptakan pola hubungan yang langka antara manajemen dan pekerja. Hal ini ditunjukkan oleh frekuensi pertemuan yang sangat rendah serta hubungan personal yang lebih bersifat formalitasan birokratis. Pola hubungan yang seperti ini pada akhirnya menciptakan perbedaan persepsi di antara pihak manajemen dan pekerja. Di satu sisi, manajemen menganggap bahwa pekerja sebagai salah satu faktor produksi yang dapat diperlakukan sesuai dengan keinginan pemilik modal. Dan di sisi yang lain, pekerja menganggap bahwa pihak manajemen telah mengekspolitasi mereka sedemikian rupa sehingga segala bentuk ketidakadilan ini harus dihentikan. Sebuah serikat pekerja yang efektif akan mampu menjembatani kesenjangan hubungan antara pekerja dan pihak manajemen melalui komunikasi yang dilakukan secara sadar dan atas dasar komitmen yang dibangun secara bersama.

Schuler (1999, 269) mengatakan bahwa pentingnya serikat pekerja bagi manajemen adalah :
1. Membantu perusahaan melalui konsesi upah atau kerjasama dalam usaha-usaha
bersama dalam bidang pekerjaan, seperti pogram kerja kelompok atau Scanlon
Plan yang memungkinkan perusahaan melakukan usaha-usaha penyelamatan,
terutama di masa-masa sulit namun tetap menguntungkan dan kompetitif.
2. Serikat pekerja dapat mengidentifikasikan bahaya-bahaya dalam pekerjaan dan
meningkatkan kualitas kondisi kerja para pekerja.

Secara normatif kedudukan antara pekerja dan pengusaha adalah sama. Di satu sisi pekerja membutuhkan pekerjaan untuk dapat memperoleh penghasilan dan di sisi lain pengusaha membutuhkan orang-orang yang mau bekerja untuk berproduksi. Perbedaan kebutuhan dan kepentingan ini pada akhirnya melahirkan sebuah kontrak kerja. Kontrak kerja berisi berbagai harapan bagi pekerja dan pengusaha yang merupakan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Harapan-harapan ini pada umumnya tidak tertulis sehingga ikatan yang tercipta lebih pada aspek psikologis sehingga disebut kontrak psikologis. Malthis dan Jackson ( 2001, 87) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai harapan tidak tertulis bahwa tenaga kerja dan pemberi kerja mempunyai sifat alamiah dari hubungan kerja mereka. Dan pada dasarnya, pemberi kerja dan pekerja memiliki harapan-harapan yang jika dipertemukan akan menghasilkan produktifitas dan kepuasan kerja. Dalam harapan-harapan ini (Malhus dan Jackson, 2001, 89) tercakup harapan pekerja bahwa pemberi kerja akan menyediakan (1) Kompensasi yang kompetitif, (2) Benefit yang dirancang untuk tenaga kerja dan (3) Fleksibelitas untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan rumah. Dan pekerja memberikan (1) Kemajuan yang terus menerus, (2) Waktu yang masuk akal dengan organisasi, dan (3) Usaha yang lebih bila diperlukan.

Namun dalam perkembangannya, perubahan dalam lingkungan internal dan eksternal perusahaan, terutama peningkatan jumlah tenaga kerja yang sangat pesat, menyebabkan pengusaha mulai meninggalkan kontrak kerja yang telah disepakati dan cenderung bertindak represif terhadap pekerja. Disisi lain, pekerja tidak dapat berbuat banyak untuk menghadapi tindakan perusahaan karena sangat tergantung dengan penghasilan yang diberikan oleh perusahaan. Ketergantungan dan ketakutan kehilangan penghasilan menyebabkan hubungan yang timpang antara pekerja dan perusahaan yang menempatkan pekerja berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Akibatnya, pekerja kehilangan bargaining power dalam berbagai hal, baik dalam hal kompensasi, jam kerja ataupun hak-hak yabg bersifat kodrati sekalipun, seperti cuti haid ataupun cuti melahirkan bagi pekerja wanita. Praktek ketenagakerjaan yang tidak etis ini pada akhirnya melahirkan ketidakpuasan di kalangan pekerja.

Berbagai ketidakpuasan pekerja pada akhirnya terakumulasi dan mendorong mereka untuk melakukan aksi secara bersama dalam suatu wadah yang disebut serikat pekerja. Melalui aksi bersama ini pekerja berharap agar perusahaan kembali kepada komitmen awal yang telah disepakati dalam kontrak kerja. Menurut Randall R Schuler (1996, 258) ada hubungan yang sangat kuat antara tingkat kepuasan dan proporsi pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja. Dan bahkan Jeanne M Brett yang dikutip oleh Dessler (2000, 518) memperlihatkan suatu hubungan antara kepuasan kerja dengan pemilihan perwakilan serikat pekerja. Selain faktor ketidakpuasan alasan lain yang melandasi pekerja bergabung dengan serikat pekerja adalah kurangnya kekuatan untuk berhadapan secara individu dengan pemberi kerja dan faktor instrumentalitas serikat pekerja. Dan akhirnya Dessler menyimpulkan bahwa pentingnya serikat pekerja adalah karena adanya keyakinan bahwa hanya melalui perserikatan pekerja dapat memperoleh pembagian “kue” secara adil dan juga melindungi diri mereka dari kesewenang-wenangan manajemen (2000, 519).

Sementara itu, De Cenzo dan Robbins mengemukakan ada banyak alasan kenapa seseorang mau bergabung dengan serikat pekerja. Setidaknya ada 5 (lima) alas an yang melandasi, yaitu :
1. Keinginan untuk memperoleh gaji dan tunjangan yang tinggi.
Sebagai sebuah kelompok kepentingan, serikat pekerja memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi dengan pihak manajemen yang menyangkut upah dan tunjangan anggota serikat kerja. Telah banyak dibuktikan bahwa serikat pekerja lebih efektif digunakan sebagai saluran penyampaian aspirasi dari pada pekerja melakukan negosiasi secara individual.
2. Keamanan kerja yang lebih baik.
Tindakan diskriminasi dapat terjadi pada semua tahapan proses personalia, dan meskipun telah ada aturan yang melarang tindakan diskriminatif ini, namun prakteknya saja tetap ada. Adalah kewajiban serikat pekerja untuk membebaskan anggotanya dari tindakan kesewenang-wenangan manajemen baik dalam penarikan maupun promosi serta membebaskan mereka dari ketakutan.
3. Mempengaruhi aturan-aturan kerja.
Dengan adanya serikat pekerja, pekerja diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam memilih dan menentukan kondisi kerja yang mereka inginkan dan memberikan suatu saluran yang efektif untuk melakukan protes terhadap kondisi yang mereka anggap tidak adil. Tidak hanya itu, serikat pekerja juga menyediakan saluran dimana keluhan dan keinginan pekerja dapat dicatat dan dapat merubah aturan-aturan kerja.
4. Keanggotaan yang bersifat wajib
Kebanyakan persetujuan-persetujuan dalam serikat pekerja berisi tentang pernyataan-pernyataan yang pada umumnya mengarah kepada union security clause atau klausa tentang keamanan serikat pekerja. Ada banyak jenis union security, yaitu union shop, agency shop, open shop, maintenance of membership dan dues checkoff.

Union Shop adalah suatu aturan yang menetapkan bahwa majikan bebas untuk mengaji siapa saja yang mereka pilih dan dengan demikian semua pekerja harus berada di bawah persetujuan collective bargaining yaitu setelah mereka menjalani masa percobaan selama 30 – 60 hari bergabung dengan serikat pekerja atau mereka kehilangan pekerjaan mereka. Agency Shop adalah sebuah persetujuan yang mensyaratkan pekerja yang bukan anggota serikat untuk membayar sejumlah fee dan iuran seperti anggota serikat lainnya. Aturan ini merupakan hasil kompromi antara keinginan serikat pekerja untuk mengeliminasi free rider dan keinginan manajemen untuk membuat keanggotaan serikat pekerja bersifat sukarela. Open Shop yaitu keikutsertaan dalam serikat pekerja bersifat sukarela belaka. Siapa yang tidak bergabung dengan serikat pekerja diharuskan untuk membayar sejumlah iuran atau fee pada serikat pekerja, sedangkan pekerja yang menjadi anggota secara khusus ada klausa pemeliharaan keanggotaan (maintenance of membership) pada kontrak yang memuat ketentuan-ketentuan yang pasti. Dues Checkoff terjadi ketika majikan tidak memberi serikat pekerja upah sebagai pembayaran atas keanggotaannya. Disini majikan mengumpulkan sejumlah iuran dan memberikannya kepada serikat pekerja
5. Adanya gangguan dari manajemen.
Salah satu alasan kenapa pekerja bergabung dengan serikat pekerja adalah untuk menghadapi manajemen, khususnya supervisor lapisan pertama. Kebanyakn pekerja tidak senang dengan cara supervisor mendisiplinkan mereka dan mereka biasanya meminta bantuan kepada serikat pekerja.

Penanganan masalah ketenagakerjaan.
Seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu, tugas yang harus dilakukan oleh serikat pekerja adalah melakukan negosiasi tentang berbagai aspek yang menyangkut kepentingan anggotanya dalam sebuah collective bargaining. Collective bargaining adalah suatu proses melalui mana perwakilan manajemen dan serikat pekerja bertemu untuk menegosiasikan sebuah persetujuan perburuhan (Dessler, 2000, 538). Menurut De Cenzo dan Robbins (1999, 439), tujuan dari collective bargaining adalah untuk menyetujui sebuah kontrak yang dapat diterima baik oleh manajemen, serikat pekerja dan anggota serikat pekerja

Schuler, (1999, 270) mengemukakan 5 (lima) jenis perundingan yang dilakukan antara manajemen dan serikat pekerja, yaitu :
1. Perundingan distributif.
Perundingan ini terjadi jika ada perselisihan dan hasilnya ada pihak yang kalah dan yang menang dan untuk itu masing-masing pihak bernegosiasi untuk mendapatkan hasil yang paling menguntungkan. Dalam hal ini, masing-masing pihak memiliki 3 (tiga) posisi perundingan, yaitu titik permintaan/penawaran awal, titik sasaran dan titik bertahan (lihat gambar 1). Jika titik bertahan manajemen lebih tinggi dari titik bertahan serikat pekerja maka akan terdapat rentang persetujuan positif yang menghasilkan kerjasama yang kooperatif. Tetapi jika titik bertahan manajemen lebih rendah, maka yang akan terjadi adalah kebuntuan dalam perundingan (permisse).

Gambar 1. Posisi manajemen dan serikat pekerja dalam perundingan distributif










2. Perundingan integratif
Perundingan integratif berfokus pada solusi kreatif yang memadukan kepentimgan masing-masing pihak dan menghasilkan keuntungan bersama yang tinggi. Hal ini terjadi bila negosiator mempunyai suatu persepsi “kue yang melebar” dimana kedua belah pihak mempunyai dua atau lebih permasalahan dan bersedia mengembangkan cara-cara kreatif yang dapat memuaskan keduabelah pihak.
3. Perundingan konsesioner
Perundingan ini sering terjadi dalam kondisi ekonomi yang parah yang dialami oleh perusahaan. Untuk terus bertahan perusahaan memperoleh konsesi dari pihak serikat pekerja dan menjanjikan keamanan kerja sebagai imbalannya.
4. Perundingan berkesinambungan
Dalam perundingan ini, panitia gabungan bertemu secara teratur untuk meneliti permasalahan-permasalahan yang ada dan memecahkan masalah-masalah yang mempunyai kepentingan bersama. Karakteristik dari perundingan berkesinambungan adalah :
a. Banyaknya pertemuan selama masa kontrak
b. Fokus pada peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah eksternal, bukan internal.
c. Penggunaan tenaga ahli dalam pengambilan keputusan.
d. Penggunaan pendekatan pemecahan masalah (integratif).
Tujuan perundingan berkesinambungan adalah mngembangkan suatu struktur serikat pekerja – manajemen yang mampu beradaptasi secara positif dan produktif terhadap perubahan lingkungan yang tiba-tiba. Perundingan ini adalah perjanjian permanen yang ditujukan untuk membantu menghindari krisis yang sering terjadi di bawah suatu collective bargaining tradisional.
5. Perundingan intraorganisasi
Selama negosiasi, tim perunding dari kedua belah pihak mungkin terlibat perundingan intraorganisasi, yaitu berunding dengan pihak yang berhak atas perubahan-perubahan dalam proses perundingan, yaitu manajemen dan anggota serikat pekerja.

Kerjasama Manajemen dan Serikat Pekerja
Secara historis, hubungan antara manajemen dan serikat pekerja selalu diwarnai oleh konflik. Namun demikian, menurut De Cenzo dan Robbins ( 1999, 501) saat ini ada kesadaran dari pihak manajemen bahwa suksesnya usaha untuk meningkatkan produktifitas, peningkatan kualitas, dan biaya yang rendah, membutuhkan keterlibatan dan komitmen pekerja. Demikian juga halnya dengan serikat pekerja, mereka mendorong anggota mereka untuk lebih bekerjasama dengan manajemen daripada memusuhinya.
Hampir sama dengan De Cenzo dan Robbins, Werther dan Davis ( 1996, 543) megatakan bahwa pengalaman dalam hubungan antara serikat pekerja dan manajemen menunjukkan trend semakin meningkatnya kerjasama dalam meningkatkan stabilitas pekerja dan jaminan kerja. Dengan kerjasama, masing-masing pihak dapat bertindak reaktif dan proaktif. Manfaat usaha yang proaktif bagi manajemen dan serikat pekerja adalah saving time and cost. Ini berarti dapat meningkatkan profit bagi pengusaha dan kontrak yang lebih baik bagi serikat pekerja. Bahkan menurut Werther dan Davis lagi ( 1996, 544), ahli-ahli sumberdaya manusia sering menemukan kerjasama serikat pekerja dan manajemen untuk meningkatkan keefektifan organisasi.

Schuler ( 1999, 268) mengemukakan 2 (dua0 bentuk hubungan serikat pekerja dan manajemen, yaitu :
1. Hubungan bermusuhan
Hubungan bermusuhan ini muncul jika tujuan serikat pekerja dan manajemen tidak seiring. Dalam hal ini, peran serikat pekerja adalah untuk memperoleh konsesi dari manajemen dan untuk memelihara konsesi ini melalui prosedur pengajuan protes.
2. Hubungan kooperatif
Dalam hubungan ini, peran serikat pekerja adalah sebagai mitra, bukan pengkritik, dan serikat pekerja mempunyai tanggung jawab yang sama dengan manajemen untuk mencapai solusi yang kooperatif. Oleh sebab itu dibentuk suatu hubungan dimana serikat pekerja dan manajemen secara bersama memecahkan masalah, saling berbagi informasi dan mencari pemecahan yang integratif.

Menurut Dessler ( 2000, 540) ada 3 (tiga) kategori subyek yang dibicarakan dalam bargaining, yaitu :
1. Voluntary bargaining items (Permissible), yaitu item yang tidak illegal atau yang tidak diperintahkan.
2. Illegal bargaining items, yaitu item yang dilarang oleh hukum
3. Mandatory bargaining items, yaitu item yanmg harus dibicarakan dalam collective bargaining.





Tabel 1. Item-item yang menjadi subyek dalam collective bargaining

No
Subject items
Mandatory Permissible Illegal
1
2


3

4
5

6


7


8
9
10

11

12
13

14
15
16
17

18 Rates of pay
Wages


Hours of employment

Overtime pay
Shift differentials

Holidays


Vacations


Severance pay
Pensions
Insurance benefits

Profit-sharing plans

Christmas bonuses
Company housing, meals and discount
Employee security
Job performance
Union security
Management-union relationship
Drug testing of employee

Indemnity bonds
Management right as to union affairs

Pension benefits of retired employees
Scope of the bargaining unit
Including supervisors in the contract
Additional parties to the contract as the international union
Use of union label
Settlement of unfair labor changes
Price in cafetaria
Continuance of past contract
Membership off bargaining team
Employment of strike breakers
Close shop
Separation of employees based on race
Discriminatory treatment

Meskipun jalan yang seharusnya ditempuh oleh serikat pekerja dalam menyelesaikan masalah perburuhan dengan perusahaan adalah melalui bargaining, tetapi seringkali bargaining yang dilakukan tidak menemukan penyelesaian yang memuaskan keduabelah pihak, sehingga terjadi kebuntuan (Impasse). Impasse terjadi ketika manajemen dan perwakilan serikat pekerja tidak sanggup bergerak lebih lanjut kearah penyelesaian. Ini biasanya terjadi karena salah satu pihak meminta lebih dari yangf dapat diberikan oleh pihak lain (Dessler, 2000, 541) Perwakilan serikat pekerja biasanya tidak dapat menerima penyelesaian yang diajukan oleh pihak manajemen dengan alasan kebutuhan dan lebih cenderung mengedepankan faktor emosional dibandingkan perhitungan yang rasional. Di pihak lain, manajemen juga bertahan dengan berbagai alasan dan mengemukakan hitungan-hitungan yang sudah tentu tidak dimengerti oleh pekerja. Disini terlihat sekali bahwa pihak manajemen berusaha memaksakan penyelesaian kearah yang sangat memojokkan pekerja seperti menerima penyelesaian yang diusulkan atau kehilangan pekerjaan.

Karena kebuntuan dalam bargaining tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak maka biasanya tampil pihak ketiga yang berkedudukan sebagai mediator, arbitrator atau pencari fakta. Mediator adalah pihak ketiga yang netral yang mencoba untuk membantu secara prinsip penyelesaian persetujuan atau kesepakatan. Arbitrator adalah pihak ketiga yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan dan mengarahkan suatu penyelesaian (Dessler, 2000, 542).

Jika penyelesaian melalui pihak ketiga juga gagal maka serikat pekerja biasanya melakukan pemogokan (strike) untuk memaksa pihak manajemen memperhatikan tuntutan mereka dan mengabulkannya. Menurut Dessler ( 2000, 542) ada 4 (empat) tipe utama dari pemogokan, yaitu :
1. Economic strike, yaitu pemogokan yang dilakukan pekerja sebagai akibat dari kegagalan untuk menyetujui kontrak yang meliputi gaji/upah, tunjangan dan kondisi kerja atau dengan kata lain, pemogokan ini merupakan akibat dari impasse yang terjadi.
2. Unfair labor practice strike, yaitu pemogokan yang terjadi sebagai protes atas tindakan manajemen yang illegal.
3. Wildcat strike, yaitu pemogokan yang tidak dibenarkan yang terjadi disepanjang masa kontrak. Pemogokan ini biasanya terjadi karena pekerja meninggalkan pekerjaannya sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan manajemen (De Cenzo dan Robbins, 1999, 479)
4. Sympathy strike, yaitu pemogokan yang terjadi karena serikat pekerja mendukung pemogokan yang dilakukan serikat pekerja di perusahaan lain.

Alternatif lain yang dapat dilakukan serikat pekerja jika terjadi kebuntuan dalam collective bargaining adalah :
1. Corporate campaign, yaitu usaha yang terorganisir oleh serikat pekerja yang menggunakan tekanan pada corfporasi melalui serikat pekerja perusahaan lain, pemegang saham, direktur, pelanggan, kreditur dan agen-agen pemerintah dan sering dilakukan secara langsung.
2. Boycott, yaitu berbagai penolakan oleh pekerja dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk membeli atau menggunakan produk perusahaan.
3. Lockout, yaitu penolakan oleh majikan untuk memberikan kesempatan bekerja.

Kefektifan Serikat Pekerja versus Manajemen
Membicarakan kekuatan antara serikat pekerja dengan manajemen merupakan suatu hal yang menarik karena pihak pekerja selalu berada pada posisi yang lemah dan kalah dalam bargaining. Hal ini terjadi karena :
1. Secara kualitas, sumberdaya manusia yang dimiliki manajemen untuk melakukan negosiasi lebih baik dari yang mewakili pekerja. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar tenaga kerja yang tergabung dalam serikat pekerja tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, dan bahkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pekerja tidak bersifat spesifik sehingga keberadaannya secara individu dalam lingkungan kerja tidak mempengaruhi produksi. Dengan kualitas anggota dan perwakilan yang rendah ini sangat sulit bagi serikat pekerja untuk berunding dengan pihak manajemen secara fair.
2. Serikat pekerja tidak mempunyai banyak pilihan dalam collective bargaining yang disebabkan oleh faktor suplay dan demand yang tidak berimbang dalam pasar tenaga kerja. Kondisi pasar tenaga kerja saat ini dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi yang sangat beragam dan mereka selalu siap untuk menggantikan pekerja-pekerja yang dianggap tidak produktif oleh manajemen. Ini adalah ancaman bagi pekerja-pekerja yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang pas-pasan. Untuk tetap bertahan dengan pekerjaannya mereka mereka harus menerima perlakuan yang tidak adil dari pengusaha dan selalu dijadikan objek dalam berbagai hal. ketidak berdayaan ini menyebabkan mereka tidak dapat memaksakan tuntutan karena menyadari posisi pekerja yang memang sangat lemah.
3. Walaupun pada beberapa kasus pihak serikat pekerja dapat meloloskan tuntutannya kepada pihak manajemen, itu terjadi setelah mereka melakukan aksi mogok dan unjuk rasa serta meminta bantuan dari pemerintah sebagai regulator. Kasus-kasus ketenagakerjaan yang terjadi selama ini mengarah kepada tipe yang ketiga ini dimana harus ada pihak ketiga yang membantu serikat pekerja dan melakukan tekanan terhadap perusahaan agar tuntutan pekerja dipenuhi. Kasus tentang Upah Minimum Propinsi (UMP) DKI adalah contoh yang relevan dengan apa yang kita bicarakan.
4. Pada akhirnya, walaupun tuntutan pekerja tidak semuanya dapat dipenuhi, mereka dapat menerima kenyataan itu dengan syarat harus ada transparansi dari pihak manajemen tentang kondisi perusahaan.

Ada satu fenomena menarik yang terjadi berkaitan dengan aksi-aksi buruh yang digerakkan oleh serikat pekerja bahwa aksi demonstrasi dan mogok menjadi awal bagi terciptanya kesepakatan yang dilakukan melalui collective bargaining. Ini merupakan indikasi lemahnya kekuatan serikat pekerja dalam melakukan negosiasi sehingga lebih mengutamakan aksi-aksi massa untuk mendukung tuntutan mereka. Dan ada kesan bahwa ketidakberdayaan serikat pekerja dalam melakukan negosiasi ditunjukkan oleh aksi-aksi yang justru ditujukan kepada pemerintah dan bukan kepada perusahaan. Artinya, untuk meluluskan tuntutannya terhadap manajemen perusahaan serikat pekerja meminta dukungan kepada pemerintah untuk memberi tekanan kepada pihak manajemen.

Namun, apapun usaha yang dilakukan oleh serikat pekerja, menurut Samuel Gompers (dalam Werther dan Davis, 1996, 527) jika serikat pekerja ingin bertahan dari pengaruh lingkungannya, maka harus dilakukan pendekatan yang disebut Bussiness unionism. Pendekatan ini menekankan bahwa serikat pekerja hanya akan bertahan jika ia dapat mewujudkan keinginan anggota yang berkaitan dengan bisnis secara cepat. Dan juga social unionism, yaitu serikat pekerja yang bertujuan melayani kepentingan anggotannya yang berkaitan dengan isu-isu sosial, politik dan ekonomi. Tabel 2 memperlihatkan perbedaan antara kedua pendekatan ini. Perbedaan tujuan yang akan dicapai ini secara lebih jauh akan menentukan apakah serikat pekerja berjalan secara efektif atau tidak.




Tabel 2. Trade-off by unions under bussiness and social unionism
Philosophical Approaches Trade – off between union objective
Bussiness unionism

Social unionism Maximize number of OR Maximize pay and benefits
employed members of members
Maximize walfare of OR Maximize welfare of
members working people
Sumber : Werther dan Davis, 1996, 528

Dilain pihak, menurut Werther dan Davis (1996, 550) praktek personalia yang efektif memberikan dorongan terbaik yang menantang produktifitas pekerja dan serikat pekerja dengan cara :
1. Mendisain pekerjaan-pekerjaan yang secara pribadi memuaskan pekerja.
2. Mengembangkan rencana-rencana yang memaksimumkan berbagai kesempatan individu di samping meminimumkan kemungkinan PHK.
3. Memilih para pekerja yang qualified
4. Menetapkan standar-standar prestasi kerja yang adil, mempunyai arti dan obyektif.
5. Melatih para karyawan dan manajer sehingga memungkinkan mereka untuk mencapai tingkat prestasi yang diharapkan.
6. Menilai dan menghargai prilaku atas dasar prestasi kerja nyata.

Kesimpulan
Sebagai bagian akhir dapat disimpulkan bahwa ;
1. Kehadiran serikat pekerja sangat perlu dan menguntungkan bagi pihak pekerja dan perusahaan. Bagi pekerja dengan adanya serikat pekerja, maka hak-hak dan kepentingan mereka dapat diperjuangkan secara terorganisir dan mempunyai peluang yang lebih besar untuk berhasil. Sedangkan bagi manajemen, dengan adanya serikat pekerja akan lebih memudahkan dalam melakukan komunikasi, koordinasi dan konsolidasi pekerja. Di samping itu serikat pekerja membantu perusahaan melalui konsesi upah atau kerjasama dalam usaha-usaha bersama dalam bidang pekerjaan


2. Dalam hubungannya dengan manajemen perusahaan, terjadi ketimpangan dimana serikat pekerja yang mewakili pekerja yang menjadi anggotanya selalu berada pada posisi yang lemah. Lemahnya posisi mereka ini selain disebabkan oleh kualitas sumberdaya manusia yang kurang baik dibandingkan dengan pihak manajemen, juga karena faktor tingginya suplay tenaga kerja yang tidak sebanding lapangan kerja yang tersedia, sehingga melemahkan posisi pekerja dalam negosiasi.

Rekomendasi
1. Untuk meningkatkan bargaining power, sudah saatnya serikat pekerja didampingi oleh staff ahli yang secara detil mengetahui permasalahan dan aspek hukum dalam hubungan antara pekerja dan perusahaan.
2. Harus dikembangkan budaya berkomukasi yang adil dan saling berbagi informasi serta berlangsung dari dua arah antara pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja dan manajemen.
3. Harus ada penerimaan dari pihak manajemen terhadap serikat pekerja sehingga kehadiran mereka lebih dihargai dan diakui sebagai salah satu kekuatan yang mempengaruhi kefektifan perusahaan.

Daftar Pustaka
1. Dessler, Garry. 2000. Human Resource Management. 8th edition. Prentice Hall International Inc. USA
2. De Cenzo, David A dan Stephen P Robbins, 1999. Human Resource Management. 6th edition. John Wiley & Sons, Inc. New York.
3. Handoko, T. Hani. 1993. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. BPFE. Yogyakarta.
4. Kompas. Selasa. 11 Desember 2001. Halaman 15.
5. Malthis, Robert L dan John H Jackson. 2001. Manajemen Sumber Daya manusia. Salemba Empat. Jakarta.
6. Schuler, Randall S dan Susan E Jackson. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi keenam. Erlangga. Jakarta.
7. Werther, William B. Jr dan Keith Davis. 1996. Human Resource Management. 5th . Mc Graw – Hill, Inc. New York.

Jumat, 12 Desember 2008

Kepuasan Kerja

Analisis Kepuasan Kerja karyawan PT. Pupuk Kujang-Cikampek Jawa Barat
Oleh : Nur Efendi, S. Sos, Msi*

Abstraks
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepuasan kerja karyawan PT. Pupuk Kujang-Cikampek Jawa Barat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei dengan tipe penelitian deskriptif. Sumber data yang utama diperoleh melalui kuisioner yang dibagikan kepada 116 orang karyawan yang menjadi sampel penelitian. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara umum karyawan PT. Pupuk Kujang-Cikapek Jawa Barat merasa puas dengan kondisi kerja yang mereka alami. Namun jika dilihat dari setiap indikator kepuasan ternyata semua indikator menunjukkan bahwa secara rata-rata karyawan kurang puas dengan berbagai aspek yang mereka alami dalam bekerja. Dan indikator yang paling kurang memuaskan adalah kurangnya dukungan dari rekan kerja. Terjadinya kondisi yang kurang memuaskan ini disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara karyawan dengan manajemen perusahaan.

Kata kunci : Kepuasan kerja, rekan kerja dan komunikasi

Stres Kerja Pada Buruh Wanita

ABSTRAK
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Stres Kerja Pada Buruh Wanita
(Studi Pada Buruh Wanita Yang Bekerja Pada
Sektor Industri Di Bandar Lampung)

Oleh:
Nur Efendi

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kondisi stress kerja buruh wanita yang bekerja pada sektor industri di Bandar Lampung (2) untuk mengetahui factor-faktor dominan yang menyebabkan stress kerja, dan (3) untuk mengetahui pengaruh factor dominan terhadap stress kerja buruh wanita yang bekerja di sektor industri di Bandar Lampung.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan sampel sebanyak 116 orang buruh wanita. Teknik sampling menggunakan simple random sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan alat uji analisis factor dan analisis regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Secara rata-rata stres yang dialami oleh buruh wanita yang bekerja di industri kayu olahan adalah 2,55 atau berada pada tingkat yang sedang. Stres yang dialami oleh buruh yang berdampak pada penyakit phisik, psikis dan perubahan prilaku. (2) Terdapat 11 faktor yang menyebabkan stres kerja pada buruh wanita yang bekerja di industri kayu olahan, yang selanjutnya disebut sebagai faktor dominan, yaitu Desain pekerjaan, Lingkungan phisik pekerjaan dan sikap atasan, Konflik di tempat kerja, Peralatan dan tuntutan peran, Formalitas, Hubungan kerja, Aturan dan kepentingan di luar pekerjaan, Keluarga, Pelaksanaan aturan, Perlakuan diskriminasi, Kebiasaan. (3) Faktor-faktor dominan secara bersama-sama merniHki pengaruh yang signifikan terhadap stres kerja buruh wanita. Besarnya pengaruh yang ditimbulkan adatah 28,3%. Dan secara individual faktor konflik di tempat kerja dan kebiasaan buruh tidak memiliki pengaruh yang signifikan dengan stres kerja buruh.